puisi sapardi djoko damono
Puisi

Puisi Sapardi Djoko Damono

Puisi Sapardi Djoko DamonoProf. Dr. Sapardi Djoko Damono adalah seorang pujangga terkemuka yang berasal dari Indonesia, beliau lahir di Surakarta pada tanggal 20 Maret 1940. Beliau sangat dikenal melalui karya sastra puisinya yang penuh makna dalam kehidupan. Sehingga banyak sekali puisinya terkenal dikalangan sastrawan maupun dikalangan umum.

Nah, itulah sedikit perkenalan siapa Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono sebenarnya. Bagi Anda yang sedang mencari puisi karya beliau ini,  Saya sudah menyiapkan kurang lebih 30 puisi Sapardi Djoko Damono lengkap. Yuk langsung disimak aja puisi lengkapnya di bawah ini.

Daftar isi

Kumpulan puisi sapardi djoko damono

puisi sapardi djoko damono
puisi sapardi djoko damono

1. Kita Saksikan

kita saksikan burung-burung lintas di udara
kita saksikan awan-awan kecil di langit utara
waktu itu cuaca pun senyap seketika
sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya

di antara hari buruk dan dunia maya
kita pun kembali mengenalnya
kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata
saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia

2. Sajak Putih

beribu saat dalam kenangan
surut perlahan
kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh
sewaktu detik pun jatuh

kita dengar bumi yang tua dalam setia
Kasih tanpa suara
sewaktu bayang-bayang kita memanjang
mengabur batas ruang

kita pun bisu tersekat dalam pesona
sewaktu ia pun memanggil-manggil
sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil
di luar cuaca

3. Pertanyaan Kerikil Yang Goblok

Kenapa aku berada di sini?
tanya kerikil yang goblok itu. Ia baru saja
dilontarkan dari ketapel seorang anak lelaki,
merontokkan beberapa lembar daun mangga,
menyerempet ujung ekor balam yang terperanjat,
dan sejenak membuat lengkungan yang indah
di udara, lalu jatuh di jalan raya
tepat ketika ada truk lewat di sana.
Kini ia terjepit di sela-sela kembang ban
dan malah bertanya kenapa
ada saatnya nanti, entah kapan dan di mana,
ia dicungkil oleh si kenek sambil berkata,
Mengganggu saja!

4. Pada Suatu Magrib

(Supardi Djoko Damono)

Susah benar menyeberang jalan di Jakarta ini
hari hampir magrib, hujan membuat segalanya tak tertib.
Dan dalam usia yang hampir enam puluh ini,
Astagfirullah! Rasanya di mana-mana ajal mengintip

5. Kenangan

ia meletakkan kenangannya
dengan sangat hati-hati
di laci meja dan menguncinya
memasukkan anak kunci ke saku celana
sebelum berangkat ke sebuah kota
yang sudah sangat lama hapus
dari peta yang pernah digambarnya
pada suatu musim layang-layang

tak didengarnya lagi
suara air mulai mendidih
di laci yang rapat terkunci

ia telah meletakkan hidupnya
di antara tanda petik

5. Sonet 14

Kaudengar gumam jalan ini, benar? Ya, ia ingin
kita selamanya melewatinya, seolah ada yang bisa abadi.
Kau tertawa, tentu saja. Kusentuh tanganmu yang dingin
ketika jalan itu mulai terdengar menggumam lagi.

Setiap berhenti sejenak untuk membenarkan letak sepatu
kau bertanya, Kau dengar gumam jalan ini? Ia sudah tua,
didendangkannya hujan yang suka membuka payung biru,
disenandungkannya kemarau yang suka berselimut udara

malam-malam, digumamkannya matahari yang melumurkan
lumut sekujur tubuh pohon teduh itu. Kau dengar itu?
Jalan ini mengalir (hanya kita yang tahu) sangat pelahan
mengelilingi sebuah tanah lapang. Hanya kita yang tahu

bahwa ia ingin kita melewatinya, sepanjang waktu? Tetapi,
apakah kita pernah yakin ada cinta yang bersikeras abadi?

6. Sonet 4

Hidup terasa benar-benar tak mau redup
ketika sudah kaudengar pesan:
suatu hari semua bunyi rapat tertutup.
Penyanyi itu tuli. Suaranya terdengar perlahan.

Tapi bukankah masih ada langit
yang tak pernah tertutup pelupuknya,
yang menerima segala yang terbersit
bahkan dari mulut si tuli dan si buta?

Penyanyi itu buta? Kau tampak gemetar
kita pun diam-diam mendengarkannya,
Cinta terasa baru benar-benar membakar
ketika pesa kaudengar: padamkan nyalanya!

Kita pun menyanyi selepas-lepasnya,
sepasang kekasih yang tuli dan buta.

7. Sonet, Entah Sejak Kapan

Entah sejak kapan kita suka gugup
Di antara frasa-frasa pongah
Di kain rentang yang berlubang-lubang
Sepanjang jalan raya itu kita berhimpitan
Di antara kata-kata kasar yang desak-mendesak
Di kain rentang yang ditiup angin,
Yang diikat di antara batang pohon

Dan tiang listrik itu kita tergencet di sela-sela
Huruf-huruf kaku yang tindih-menindih
Di kain rentang yang berjuntai di perempatan jalan
Yang tanpa lampu lalu-lintas itu. Telah sejak lama
Rupanya kita suka membayangkan diri kita
Menjelma kain rentang koyak-moyak itu, sebisanya
Bertahan terhadap hujan, angin, panas, dan dingin

8. Pohon Belimbing

Sore ini kita berpapasan dengan pohon belimbing wuluh
yang kita tanam di halaman rumah kita beberapa tahun yang
lalu, ia sedang berjalan-jalan sendirian di trotoar. Jangan
kausapa, nanti ia bangun dari tidurnya.

Kau pernah bilang ia tidak begitu nyaman sebenarnya
di pekarangan kita yang tak terurus dengan baik, juga karena
konon ia tidak disukai rumput di sekitarnya yang bosan
menerima buahnya berjatuhan dan membusuk karena kau
jarang memetiknya. Kau, kan, yang tak suka sayur asem?

Aku paham, cinta kita telah kausayur selama ini tanpa
belimbing wuluh Demi kamu, tau! Yang tak bisa kupahami
adalah kenapa kau melarangku menyapa pohon itu ketika
ia berpapasan dengan kita di jalan. Yang tak akan mungkin
bisa kupahami adalah kenapa kau tega membiarkan pohon
belimbing wuluh itu berjalan dalam tidur?

Kau, kan, yang pernah bilang bahwa pohon itu akan jadi
tua juga akhirnya?

9. Hujan Dalam Komposisi, 2

Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula
ia di udara tinggi, ringan dan bebas lalu
mengkristal dalam dingin kemudian melayang
jatuh ketika tercium bau bumi dan menimpa
pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun,
melenting di atas genting, tumpah di pekarangan
rumah, dan kembali ke bumi.

Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di
jalan yang panjang, menyusurnya, dan terge-
lincir masuk selokan kecil, mericik swaranya,
menyusur selokan, terus mericik sejak sore,
mericik juga di malam gelap ini, bercakap
tentang lautan.

Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di
lautan. Selamat malam.

10. Ketika Berhenti Disini

ketika berhenti di sini ia mengerti
ada yang telah musnah. Beberapa patah kata
yang segera dijemput angin
begitu diucapkan, dan tak sampai ke siapa pun

11. Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago

Siapakah namamu? barangkali aku setengah tertidur waktu
kautanyakan itu lagi. Bangku-bangku yang separo kosong,
beberapa wajah yang seperti mata tombak, dan dari jendela:
siluet di atas dasar hitam. Aku pun tak pernah menjawabmu,
bahkan ketika kautanyakan jam berapa saat kematianku,
sebab kau toh tak pernah ada tatkala aku sepenuhnya terjaga.

Baiklah, hari ini kita namakan saja ia ketakutan, atau apa
sajalah. Di saat lain barangkali ia menjadi milik seorang
pahlawan, atau seorang budak, atau pak guru yang mengajar
anak-anak bernyanyi  tetapi manakah yang lebih deras
denyutnya, jantung manusia atau arloji (yang biasa
menghitung nafas kita), ketika seorang membayangkan
sepucuk pestol teracu ke arahnya? Atau tak usah saja kita
namakan apa-apa kau pun sibuk mengulang-ulang per-
tanyaan yang itu-itu juga, sementara aku hanya separo ter- jaga.

12. Narsisus

seperti juga aku: namamu siapa, bukan?
pandangmu hening di permukaan telaga dan rindumu dalam
tetapi jangan saja kita bercinta
jangan saja aku mencapaimu dan kau padaku menjelma

atau tunggu sampai angin melepaskan selembar daun
dan jatuh di telaga: pandangmu berpendar, bukan?
cemaskan aku kalau nanti air hening kembali
cemaskan aku kalau gugur daun demi daun lagi

Puisi WS Rendra

13. Taman Jepang, Honolulu

(Supardi Djoko Damono)

inikah ketentraman? Sebuah hutan kecil:
jalan setapak yang berbelit, matahari
yang berteduh di bawah bunga-bunga, ricik air
yang membuat setiap jawaban tertunda

14. Lanskap

sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tua
waktu hari hampir lengkap, menunggu senja
putih, kita pun putih memandangnya setia
sampai habis semua senja

15. Kupandang Kelam yang Merapat ke Sisi Kita

kupandang kelam yang merapat ke sisi kita
siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba
(malam berkabut seketika) Barangkali menjemputku
barangkali berkabar penghujan itu

kita terdiam saja di pintu. Menunggu
atau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu
kenalkah ia padamu, desakmu (Kemudian sepi
terbata-bata menghardik berulang kali)

bayang-bayang pun hampir sampai di sini. Jangan
ucapkan selamat malam undurlah perlahan
(pastilah sudah gugur hujan
di hulu sungai itu) itulah Saat itu, bisikku

kukecup ujung jarimu kau pun menatapku:
bunuhlah ia, suamiku (Kutatap kelam itu
bayang-bayang yang hampir lengkap mencapaiku
lalu kukatakan: mengapa Kau tegak di situ)

16. Dua Sajak Dibawah Satu Nama

I
darah tercecer di ladang itu. Siapa pula
binatang korban kali ini, saudara?
Lalu senyap pula. Berapa jaman telah menderita
semenjak Ia pun mengusir kita dari Sana

awan-awan kecil mengenalnya kembali, serunya:
telah terbantai Abel, darahnya merintih kepada Bapa
(aku pada pihakmu, saudara, pandang ke muka
masih tajam bau darah itu. Kita ke dunia)

II
kalau Kau pun bernama Kesunyian, baiklah
tengah hari kita bertemu kembali sehabis
kubunuh anak itu. Di tengah ladang aku tinggal sendiri
bertahan menghadapi Matahari

dan Kau pun di sini. Pandanglah dua belah tanganku
berlumur darah saudaraku sendiri
pohon-pohon masih tegak, mereka pasti mengerti
dendam manusia yang setia tetapi tersisih ke tepi

benar. Telah kubunuh Abel, kepada siapa
tertumpu sakit hati alam, dendam pertama kemanusiaan
awan-awan di langit kan tetap berarak, angin senantiasa
menggugurkan daunan segala atas namamu: Kesunyian

17. Gerimis Jatuh

gerimis jatuh kaudengar suara di pintu
bayang-bayang angin berdiri di depanmu
tak usah kauucapkan apa-apa seribu kata
menjelma malam, tak ada yang di sana

tak usah kata membeku, detik
meruncing di ujung Sepi itu
menggelincir jatuh
waktu kaututup pintu. Belum teduh dukamu

18. Telor

Ada sebutir telor tepat di tengah tempat tidurmu yang putih rapih,
Kau, tentu saja, terkejut ketika pulang malam-malam dan
melihatnya di situ. Barangkali itulah telor yang kadang hilang
kadang nampak di tangan tukang sulap yang kautonton sore tadi.
Barangkali telor itu sengaja ditaruh di situ oleh anak gadismu atau
isterimu atau ibumu agar bisa tenteram tidurmu di dalamnya.

19. Percakapan Malam Hujan

Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung
berdiri di samping tiang listrik.
Katanya kepada lampu jalan, Tutup matamu dan tidurlah. Biar
kujaga malam

Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara
desah asalmu dari laut, langit, dan bumi kembalilah, jangan
menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia suka terang

20. Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari

waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami
yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara
kami yang harus berjalan di depan

21. Mata Pisau

mata pisau itu tak berkejap menatapmu:
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.

22. Hujan Dalam Komposisi, 1

Apakah yang kautangkap dari swara hujan,
dari daun-daun bugenvil basah yang teratur
mengetuk jendela? Apakah yang kautangkap
dari bau tanah, dari ricik air
yang turun di selokan?

Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah
dan hujan, membayangkan rahasia daun basah
serta ketukan yang berulang.

Tidak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri
yang di balik pintu memimpikan ketukan itu,
memimpikan sapa pinggir hujan, memimpikan
bisik yang membersit dari titik air
menggelincir dari daun dekat jendela itu.
Atau memimpikan semacam suku kata
yang akan mengantarmu tidur

Barangkali sudah terlalu sering ia
mendengarnya, dan tak lagi mengenalnya.

23. Tentang Tuhan

Pada pagi hari Tuhan tidak pernah seperti terkejut dan
bersabda, Hari baru lagi! Ia senantiasa berkeliling merawat
segenap ciptaan-Nya dengan sangat cermat dan hati-hati tanpa
memperhitungkan hari.

Ia, seperti yang pernah kaukatakan, tidak seperti kita
sama sekali.

Tuhan merawat segala yang kita kenal dan juga yang tidak
kita kenal dan juga yang tidak akan pernah bisa kita kenal.

24. Puisi Cat Air Untuk Rizki)

angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon itu, aku rindu, aku ingin mempermainkanmu!
kabel telpon memperingatkan angin yang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas, jangan berisik, mengganggu .
hujan!
hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam,
hardiknya, lepaskan daun itu!

25. Sonet 6

Sampai hari tidak berapi? Ya, sampai angin pagi
mengkristal lalu berhamburan dari batang pohon ranggas.
Sampai suara tak terdengar berdebum lagi?
Ya, tak begitu perlu lagi memejamkan mata, bergegas

memohon diselamatkan dari haru biru
yang meragi dalam sumsumku tak pantas lagi
menggeser-geser sedikit demi sedikit bangkai waktu
agar tak menjadi bagian dari aroma waktu kini.

Sampai yang pernah bergerit di kasur
tak lagi menempel di langit-langit kepalaku?
Sampai kedua bola matamu kabur,
sayapmu lepas, dan kau melesat ke Ruh itu.

Ruh? Ya! Sampai kau sepenuhnya telanjang
dan tahu: api tubuhmu tinggal bayang-bayang.

26. Sudah Lama Aku Belajar

(1)
sudah lama aku belajar memahami
apa pun yang terdengar di sekitarku,
sudah lama belajar menghayati
apa pun yang terlihat di sekelilingku,
sudah lama belajar menerima
apa pun yang kauberikan
tanpa pernah bertanya apa ini apa itu,
sudah sangat lama belajar mengagumi matahai
ketika tenggelam di tepi danau belakang rumahku,
sudah sangat lama belajar bertanya
kepada diri sendiri
mengapa kau selalu memandangku begitu.

(2)
Ia menyaksikanmu memutar
kunci pintu rumahmu,
masuk, dan menutupnya kembali.
(3)
Kalau pada suatu hari nanti
kau mengetuk pintu
tak tahu apa aku masih sempat mendengarnya.

27. Tukang Kebun

Setelah beberapa kali ketukan,
pintu kubuka rupanya ada tamu
yang, katanya, menjemputku sore hari ini
Apakah aku sudah pernah mengenalnya?

Waktu kutanyakan pergi ke mana,
jawabnya ringkas, Ke sana, ke samudra raya!
Ditunjukkannya pula rajah di lengannya:
gambar jangkar, tengkorak, dan kata tak terbaca.

Aku ini tukang kebun tua yang lahir dan dibesarkan
di pedalaman, sepanjang hidup hanya belajar
menghayati rumput, pohon, dan tanah basah,
mengurus pagar dan membersihkan rumah.

Aku tak mampu apa dan bagaimana lagi.
Pandanganku tinggal sejengkal,
dan telingaku? Suaraku sendiri pun tak dikenal.
Tamu itu membelalak ketika kupersilahkan duduk.

Tuhan, aku takut. Tolong tanyakan padanya
siapa gerangan yang telah mengutusnya.

28. Tentu. Kau Boleh

Tentu. Kau boleh saja masuk
masih ada ruang
di sela-sela butir darahku.
Tak hanya ketika rumahku sepi,
angin hanya menyentuh gorden,
laba-laba menganyam jaring,
terdengar tetes air keran
yang tak ditutup rapat
dan di jalan
sama sekali tak ada orang
atau kendaraan lewat.
Tapi juga ketika turun hujan,
angin tempias lewat lubang angin,
selokan ribut dan meluap ke pekarangan,
genting bocor dan aku capek
menggulung kasur dan mengepel lantai.
Tentu. Kau boleh mengalir
di sela-sela butir darahku,
keluar masuk dinding-dinding jantungku,
menyapa setiap sel tubuhku.
Tetapi jangan sekali-kali
pura-pura bertanya kapan boleh pergi
atau seenaknya melupakan
percintaan ini.
Sampai huruf terakhir
sajak ini, Kau-lah yang harus
bertanggung jawab
atas air mataku.

29. Ayat-Ayat Tokyo

(1)
angin memahatkan tiga patah kata
di kelopak sakura
ada yang diam-diam membacanya
(2)
ada kuntum melayang jatuh
air tergelincir dari payung itu
kita bergegas, katanya
(3)
kita pandang daun bermunculan
kita pandang bunga berguguran
kita diam: berpandangan
(4)
kemarin tak berpangkal, besok tak berujung
tak tahu mesti ke mana
angin menyambar bunga gugur itu
(5)
lengking sakura
tapi angin tuli
dan langit buta
(6)
menjelma burung gereja
menghirup langit dalam-dalam
angin musim semi

31. Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

32. HARI PUN TIBA

hari pun tiba. Kita berkemas senantiasa
kita berkemas sementara jarum melewati angka-angka
kau pun menyapa: ke mana kita
tiba-tiba terasa musim mulai menanggalkan daun-daunnya

tiba-tiba terasa kita tak sanggup menyelesaikan kata
tiba-tiba terasa bahwa hanya tersisa gema
sewaktu hari pun merapat

jarum jam sibuk membilang saat-saat terlambat

33. PROLOGUE

masih terdengar sampai di sini
dukaMu abadi. Malam pun sesaat terhenti
sewaktu dingin pun terdiam, di luar
langit yang membayang samar

kueja setia, semua pun yang sempat tiba
sehabis menempuh ladang Qain dan bukit Golgota
sehabis menyekap beribu kata, di sini
di rongga-rongga yang mengecil ini

kusapa dukaMu jua, yang dahulu
yang meniupkan zarah ruang dan waktu
yang capai menyusun Huruf. Dan terbaca:
sepi manusia, jelaga

 34. ATAS KEMERDEKAAN

kita berkata : jadilah
dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut
di atasnya : langit dan badai tak henti-henti
di tepinya cakrawala
terjerat juga akhirnya
kita, kemudian adalah sibuk
mengusut rahasia angka-angka
sebelum Hari yang ketujuh tiba
sebelum kita ciptakan pula Firdaus
dari segenap mimpi kita
sementara seekor ular melilit pohon itu :

inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah

35. Hatiku Selembar Daun

Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput;

Nanti dulu,
biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang,
yang selama ini senantiasa luput;

Sesaat adalah abadi
sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.

36. Hujan Bulan Juni

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

37. Kuhentikan Hujan

Kuhentikan hujan
Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan

Ada yang berdenyut dalam diriku
Menembus tanah basah
Dendam yang dihamilkan hujan
Dan cahaya matahari
Tak bisa kutolak

Matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga

38. Menjenguk Wajah di Kolam

Jangan kau ulang lagi
menjenguk
wajah yang merasa
sia-sia, yang putih
yang pasi
itu.

Jangan sekali-
kali membayangkan
Wajahmu sebagai
rembulan.

Ingat,
jangan sekali-
kali. Jangan.

Baik, Tuan.

39. Sajak Kecil Tentang Cinta

Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat

Mencintai cakrawala harus menebas jarak

Mencintai-Mu harus menjelma aku

40. Sajak Tafsir

Kau bilang aku burung?
Jangan sekali-kali berkhianat
kepada sungai, ladang, dan batu.
Aku selembar daun terakhir
yang mencoba bertahan di ranting
yang membenci angin.
Aku tidak suka membayangkan
keindahan kelebat diriku
yang memimpikan tanah,
tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku
ke dalam bahasa abu.
Tolong tafsirkan aku
sebagai daun terakhir
agar suara angin yang meninabobokan
ranting itu padam.

Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat
untuk bisa lebih lama bersamamu.
Tolong ciptakan makna bagiku,
apa saja — aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.

41. Puisi Dalam Doaku

Dalam doa subuhku ini kau menjelma langit yang
semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening
siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening
karena akan menerima suara-suara
Ketika matahari mengambang diatas kepala,

dalam doaku kau menjelma pucuk pucuk cemara yang
hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya
mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau entah dari mana
Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung
gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu
bunga jambu, yang tiba tiba gelisah dan
terbang lalu hinggap di dahan mangga itu

Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang
turun sangat perlahan dari nun disana, bersijingkat
di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku
Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit
yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia
demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi
bagi kehidupanku
Aku mencintaimu,
itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan
keselamatanmu

Demikianlah artikel yang menyajikan tentang kumpulan puisi sapardi djoko damono. Semoga bisa bermanfaat untuk anda semuanya, Semian dan Terima Kasih.

puisi sapardi djoko damono

You might also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *